Student Exchange #5: Survive di Luar Negeri : Pentingnya Kesadaran Mental

November 4, 2019.

Dalam suasana autumn yang dingin ini, niatnya memang mencari kesibukan di tengah kemalasan dan kemageran yang rawan melanda wkwk. Ya, bisa di bilang ini adalah penyakit saya ketika musim dingin tiba. But, lets talk into the main topic.

Untuk kali ini, saya akan menulis tentang bagaimana bertahan hidup di luar negeri, tidak hanya secara fisik tapi bagaimana kondisi batiniah kita dirasa memang penting. Sebelumnya, tulisan ini memang bersifat subjektif, jadi kalau terjadi ketidakcocokan argumen, ya mohon maaf sebelumnya hehe.

Sudah 2 bulan semenjak kedatangan saya di negeri sakura, yang konon katanya negeri yang diidam-idamkan oleh banyak orang, tidak hanya sekedar ingin berkunjung untuk berlibur atau bahkan ingin melanjutkan studi di negara ini. Banyak fakta yang memang tidak bisa dijelaskan melalui beberapa informasi di internet, fakta tersebut lebih banyak saya alami secara langsung. Percayalah, tinggal di luar negeri tak selamanya bak negeri yang indah, seperti di movie atau anime apapun. Rasa nyaman dan betah memang ada sih, feel ketika pertama kali merasakan tinggal di negeri 4 musim seperti di Jepang memang sangat asyik bahkan ada rasa ingin tinggal disini lebih lama.

Sebenarnya, banyak perasaan yang terkadang muncul tatkala pergi jauh dari keluarga atau tempat dimana kita besar dan tinggal. Rasa kangen pasti ada sih, saya juga merasakan hal seperti itu, tapi sejauh ini saya masih bisa mengontrol rasa rindu atau kangen ke dalam tahap yang masih wajar haha. Kalau nggak wajar, itu bisa jadi namanya homesick bulan kangen lagi. Tapi itu normal kok, hal seperti ini memang banyak dialami oleh sebagian besar orang ketika harus merantau, masa-masa sulit ketika harus beradaptasi dengan lingkungan baru.

Bagaimana kita menyikapi perasaan seperti itu memang memerlukan effort yang lebih, kadang cara orang untuk melepaskan kerinduan atau menahan rindu itu berbeda-beda. Banyak yang pergi melepas rindu dengan cara bertemu dengan teman-teman dari Indonesia, ataukah hanya jalan-jalan, belanja. Banyak juga yang justru menikmati sensasi kerinduan dengan menambah nuansa melankolis, putar lagu, lihat beranda foto-foto, ini sih yang bikin miris haha. Kadang saya juga seperti itu, tiba-tiba galau.

kata orang sih musim dingin itu bikin galau super. Tapi, tingkat kemageran juga semakin meningkat. Biasanya kalau lagi galau atau kangen dengan seseorang, ku luapkan dengan memutar lagu, jalan-jalan dan sekedar duduk menyendiri, tapi ini bukan kaya orang depresi ya, mohon dibedakan wkwk. Tapi senjata yang paling manjur sih buat tidur saja haha. Ntar juga lupa sendiri.

Banyak hal yang memang tidak bisa diceritakan sebagai hal yang menarik saat berada di luar negeri. Kebanyakan orang menceritakan apa yang memang sudah umum diceritakan. Yak seperti ini, kadang berbagai hal yang sifatnya undercover itu lebih baik dinikmati sendiri dan menjadi cerita yang bakal dikenang.

Selama 2 bulan disini, nggak cuma kangen atau rindu, tapi pernah juga menemukan kebingungan dengan kondisi diri sendiri. Ditambah posisi jauh dari teman-teman yang biasa kita ajak main di rumah. Rasa bingung dengan identitas diri ini sering muncul disini, sering bertanya-tanya arah dan tujuan hidup. Banyak masalah yang datang tapi seakan-akan merasa tidak ada orang yang memang bisa diajak bicara atau sekedar ngobrol ringan satu sama lain. Bagaimanapun masa kritis seseorang terhadap dirinya sendiri akan besar resiko munculnya, apalagi ketika baru pertama kali pergi ke luar negeri. Bagaimana tidak, hal-hal yang biasa kita lakukan di rumah, sangat berbeda jauh saat kita tinggal di luar negeri. Mandiri, melakukan apapun sendiri, memikirkan diri sendiri hanya untuk makan apa, saya harus melakukan apa hari ini, besok, dan bagaimana kita bertahan, akan sangat terasa disini.

Bukan bermaksud membedakan dengan diri kita saat di negara sendiri, tapi sejauh yang saya rasakan, perbedaan yang sangat saya rasakan adalah tantangan untuk lebih mengenal diri sendiri itu besar. Seakan bisa diibaratkan bahwa sisi sensitif kita terhadap personalitas diri lebih terasah. Namun, hal yang harus saya lakukan apa? ketika dihadapkan dengan persoalan seperti itu? Well, memang saya masih belajar dan masih mencoba untuk memahami diri. Kunci yang selalu saya terapkan adalah menciptakan kondisi pikiran kita positif, whatever they called it, berpikiran positif itu maknanya sangat besar. 

Menurut saya, bagaimana kita menerapkan pikiran yang positif itu akan menstimulasi otak kita untuk menciptakan sistem yang baik juga, karena sejatinya hal itu merupakan akar yang penting untuk mengkoordinasi hal lain agar berjalan dengan baik. Positif thinking.

Bukan hanya pikiran kita yang terus kita jaga keberadaannya, mental, hati kita juga menjadi penting. Mungkin saya merupakan salah satu dari banyak orang yang kadang merasakan insecurity ketika melihat orang lain yang jauh  lebih kapabilitas atau dalam suatu ekosistem orang dimana kualitas itu sangat terlihat. Insecurity adalah musuh terbesar orang dan paling umum dialami. Saya merasakan insecurity juga karena pikiran positif saya yang kadang tidak bekerja hehe. Karena ketika kita tidak mampu menerima diri kita apa adanya atau bahkan kita tidak mampu mencintai diri sendiri tentu ujungnya kita gampang melihat kekurangan kita, men- underestimate diri. 

Ya, berjuang untuk bertahan dengan segala masalah atau kondisi seperti itu memang tidaklah mudah, banyak hal yang harus kita latih dan pelajari sedikit demi sedikit, karena hanya dengan cara itulah kita mampu menjadi versi yang lebih baik. Menyikapinya pun saya masih dalam tahap belajar, dimana sekecil apapun yang saya lakukan, pasti itu akan berdampak kepada hal yang lebih besar nantinya. Menerapkan pikiran yang positif dimanapun, kapanpun, seperti hal yang memang menjadi kewajiban saya disini, selain itu mencintai diri sendiri dengan apa yang kita miliki, seberapa pun itu, sejelek apapun diri kita, hargailah, dan yakinlah bahwa kita memang memiliki kemampuan dan kualitas yang orang lain tidak punya. 

Komentar