Chapter 2. Rentetan beberapa refleksi
[Chapter 1]
...
Melihat diriku yang beranjak menapaki umur yang semakin dewasa, disinilah aku semakin menyadari bahwa waktu yang dijanjikan akan segera datang.
Di fase ini hati mulai gundah. Berpikirpun mulai tidak terarah. Bahkan aku khawatir jika mulai bosan dan lelah. 1 tahun lalu aku masih bergairah kesana kemari dengan visi yang terarah dan sangat jelas idealisnya. Jadi, beginilah aku menggambarkan diriku saat ini.
[Chapter 2]
...
Ini bukan kisah sedih ataupun hikayat hidup. Aku hanya berusaha memahami, bukan orangtuaku ataupun orang lain. Bukankah aku harus menemukan sendiri apa solusi dan jati diri? Itu juga bukan kewajiban orang lain, 11 tahun yang lalu. Aku duduk bersama nenek ku, dia yang selalu menyelipkan kata manis dalam balutan nasihat-nasihatnya.
[Chapter 3]
...
I am not so ambitious right now.
Aku tahu diumur 20-an adalah masa transisi menuju hal yang lebih baik. Keputusan-keputusan besar dimulai dari umur ini. Diumurku yg lalu, aku begitu berambisi meraih ini itu, tapi aku tahu ambisiku begitu besar dibandingkan kompetensiku. Kini aku tahu apa definisi dewasa, dan aku juga tahu kenapa kedewasaan itu bukan terpaut umur, tapi dari apa yang kita lalui dan bagaimana kita menyikapi.
[Chapter 4]
...
Setiap keputusan pasti ada konsekuensi, dan dari konsekuensi itu, kita tidak perlu takut. Karena setiap kesulitan pasti ada kemudahan.
...
[Chapter 5]
...
Agaknya sangat aneh, dunia ini menyambutku. Belum habis diperpaduan ufuk barat tapi seakan hati timbul dan tenggelam sendirinya.
Aku dapat pesan pagi ini, ia berkata janganlah sesali keputusan yang telah diambil. Karena aku tidak tahu kapan penyesalan datang mengisi lubuk hati. Bukankah menjalani dengan penuh tanggung jawab adalah penyelesaian yang dirasa cukup dewasa.
[Chapter 6]
...
"Mungkin hanya terlalu khawatir dengan apa yang seharusnya itu bukan urusan kita. Toh itu bagian dari dosa, yang namanya hasil adalah rejeki yang sudah diatur sama yang Kuasa. Takut ini itu mungkin wajar, ya namanya juga seorang manusia yang hanya bisa berencana. Hal yang mendasar hanyalah percaya pada kemampuan sendiri, bukan terlalu ambisius ataupun pesimis. Doa dan keyakinan itu mengalir bersamaan."
[Chapter 7]
...
Kita memang harus memiliki idealisme. Melawan yang namanya sebuah pragmatisme. Kita memiliki cita-cita abstrak yang besar dan itu yang harus di wujudkan. Kita berada pada suatu waktu dan tempat agar memiliki sebuah kontribusi secara personal.
Semua itu diturunkan dalam hati melalui komitmen dan daya juang. Namun, hal yang perlu diingat bahwa, semua itu harus diterjemahkan menurut referensi pribadi kita masing-masing. Semua punya versinya sendiri.
[Chapter 8]
...
I just believe on my own ability. I dont wanna compare it to each other.
Ada hal yang tidak bisa diraba oleh panca indera, ada hal yang tidak bisa dinalar oleh akal sehat manusia. Ialah ketentuan Allah. Ketentuannya lebih baik dari apa yang kita rencanakan dengan keras dan mati-matian. Semua berbalik pada-Nya ketika Allah berkata "Kun fayakun". Bukannya Allah itu apa yang kita prasangkakan? dan bukannya kitalah yang kurang pandai bersyukur? Menyesali sesuatu bukanlah hal yang baik, keep praying without any doubt, and believe what miracle He gives.
[ Chapter 9]
...
Ternyata kita memiliki fokus dan tujuan yang berbeda. Kau fokus pada hal yang sifatnya sementara dan hanya kesenangan semata. Tapi aku fokus pada sesuatu yang memang menjadi bekal selamanya. Kita memang sudah digariskan untuk berbeda. Bahkan sifat dan karakter kita bertolak belakang. Aku merasa lebih dewasa untuk hal ini, tapi lidahku tidak mampu untuk membimbingmu, kecuali dalam doa yang diam.
[Chapter 10]
...
Sampai pada chapter ini, aku pun masih berusaha memahami diri sendiri. Bagaimana diriku semakin bingung memahami perasaan. Tidak jarang juga aku bertanya, apakah aku normal? Bukankah perasaan ini adalah hanya manifestasi akal pikiran? Pikiran yang menggiring hati untuk merasa iba, sedih, marah, senang, dan jatuh cinta. Tapi aku menganggap, hati terkadang berbohong, dan akal sehat kadang benar.
[Chapter 11]
...
In the deepest of the heart, and the courageous of the mind, we still powerless to figured out the mystery of this world.
Being human, I still don't understand what should I do to overcome this continuous absurdity. I still worry about the thing that I loved the most. In the contrary, I don't wanna follow the way they did. Indeed, I don't understand myself definetly.
ーやん
[Chapter 12]
...
He told me to be patient, He told me to tell my story without any worry. And, He told me, He always there.
He told me, every thing is fine. He told me I can crying as I want. He told me that I can ask anything to Him.
Cause, He did every thing for me. Thank You.
[Chapter 13]
...
The truly sadness of moslem in this world is coming. We don't even know his. But our tears flow along the ocean and sky. Fall between our heart and orificed in the holy land Mecca. In the name of the Great, Allah. May his soul live peacefully in your heaven. Our fear, our weakness, our foolishness, has came. Give us your strenght.
ーやん
[Chapter 14]
...
Melalang di negeri seberang. Sebuah pesan dan ajakan bagi cendekiawan. Ilmu pengetahuan laksana darah yang mengalir dalam nadi dan vena. Memang butuh kesabaran dan keikhlasan, disetiap godaan dan cobaan. Jauh dilubuknya, tak hanya darah yang mengalir, tapi air mata dan keringat yang menahan lelah dan perih akan rindunya seseorang. Ada jiwa tulus yang benar benar mengilhami niat yang budi.
ーアルビアン
Komentar
Posting Komentar