Chapter 6. Instagram: Why do I decided to take down my social media accounts?
Well, nice to see you again in this May through this post.
Pada chapter ini, ada hal yang sudah sangat saya nantikan untuk di-share dengan teman-teman blog. Memang menentukan topik tulisan blog itu tidaklah mudah dilakukan. Hingga pada akhirnya, chapter 6 ini adalah permulaan cerita saya tentang 'Living as a minimalist'.
It was 2 months ago perhaps. Saya melakukan penelitian kecil-kecilan dengan membuat sebuah Google form yang menanyakan beberapa pertanyaan dasar; kenapa kita memakai media sosial dan apakah kita punya keinginan untuk berhenti dari semua itu. Jawaban yang sudah saya himpun dari 15-an orang yang berpartisipasi, hasil menunjukkan bahwa persentase yang dominan adalah mereka yang memiliki keinginan untuk lepas dari media sosial Instagram (for example), namun mereka belum tahu kapan akan melakukannya. Hal ini linear dengan pendapat mereka terhadap media sosial contohnya Instagram. Mayoritas menunjukkan bahwa penggunaan Instagram sangat toksik, adiktif, dan comparable effect.
Lantas apa kaitannya dengan 'living as a minimalist' dan 'why do I decided to take down my social media accounts?". Jika kamu tartarik, keep reading ya.
------------------
Media sosial pertama yang saya miliki adalah Facebook di tahun 2009, dibuat dengan bantuan teman saya sewaktu SD. Kemudian tahun 2015, saya memutuskan membuat media sosial baru yang sedang booming saat itu, yaitu Instagram. Hanya ada 2 media sosial yang saat itu saya gunakan, selainnya seperti Twitter, saya memang tidak membuat akun karena merasa tidak tertarik.
Facebook, media sosial primitif yang digunakan berjuta manusia dengan segala pangsa umurnya. Hal itu lah yang membuat kenapa saya justru memutuskan untuk menghapus akun Facebook saya. Beranda yang dipenuhi status akan kondisi perasaan orang lain, tidak sedikit yang menuliskan dengan gaya majas yang sedikit lebay dan alay. Walaupun jika mengulas balik ke akun saya, perasaan jijik membaca postingan status di beranda Facebook 8 tahun lalu, seolah menjadi gejala fobia akan media sosial.
Menghapus beberapa riwayat status, foto, dan semacamnya yang dirasa terlalu menjijikan adalah tindakan untuk memurnikan kembali nama dan reputasi sosial saya. Meskipun pada akhirnya, saya merasa Facebook tidaklah penting lagi untuk saya gunakan. Maka, pada tahun 2018 akhir, saya sudah resmi menarik keanggotaan diri dari hingar-bingar Facebook dan persaudaraannya, Messanger kala itu.
Waktu kembali teralihkan sepenuhnya dengan adanya Instagram, yang sudah saya kenal semenjak SMA. Menawarkan fitur yang relatif segar dan lebih interaktif, menjadi salah satu alasan kenapa saya jarang menggunakan Facebook lagi. Saya ingat 5 buah posting-an pertama saya di Instagram, ketika saya buka sekarang, mungkin perasaan jijik juga menghampiri kala melihat Facebook saat itu. Bahkan saya tidak tahu kenapa saya harus membuat posting-an tentang foto ini, kenapa saya tulis caption seperti ini. Sejatinya saya rasa I should not do that. Tapi hal itulah yang saya sadari, bahwa siklus seseorang menggunakan media sosial memang memiliki pola yang sama. Melalui sitiran dari moz.com, 3 pola sosial media yaitu self-identification, connection, dan engagement.
Self-identification ini mengarahkan bahwa penggunaan sosial media akan membuat orang terlalu bebas mengekspresikan apa yang dia inginkan saat itu. Ketika itu saya ingin memposting kegiatan yang telah saya lakukan dengan harapan mendapat atensi dari orang lain. Atansi inilah yang dibentuk dari jumlah like dan comment yang didapatkan.
Tahun 2021 awal, tepatnya bulan Januari, saya mengambil keputusan yang menurut saya cukup besar. Saya menghapus secara permanen akun media sosial Instagram. Sebuah keputusan gila mungkin bagi orang lain, dimana Instagram yang menjadi tools of our millennials, saya take down dan memutuskan hiatus dalam jangka waktu yang tidak akan pernah saya fikirkan kembali untuk membuat akun baru.
Keputusan menonaktifkan Instagram tidaklah keputusan singkat. Saya sudah melalui beberapa hal pertentangan emosional dalam diri saya selama menggunakan Instagram. Isu tentang self-confidence crisis, attention seeker, dependency, dan toxicity, menjadi isu yang sebenarnya negatif tapi saya menentang dan membuat saya tetap mempertahankan Instagram dengan alasan saya mesih butuh Instagram. Walaupun pada kenyataannya adalah semua hanyalah trik dan permainan candu dari Instagram itu sendiri.
Media sosial memang menghadirkan fitur dimana kita mampu terhubung dengan seseorang di luar sana, dań di mana pun mereka berada. Membagikan hal-hal yang tidak bisa kita tunjukan dalam dunia nyata, dan mendapatkan kebahagian karena respon positif dari orang lain. But, all of that were fake. Semua menjadi mengarah pada keegoisan, atensi sebenarnya hanyalah mencari perhatian dengan dunia kita sendiri. Menjadi menghkawatirkan jumlah like, comment, dan reaksi atas posting-an kita. Menjadi takut akan tertinggal sesuatu, dan merasa kita butuh semua itu. In fact, Fear or missing out, yang dimiliki media sosial seperti Instagram, Facebook, hanyalah cara kerja yang diciptakan untuk kita agar terus menggunakannya sedang kita dimanjakan dengan fitur yang akan selalu ter-update.
Berawal dari hal ini, memutuskan untuk living as a minimalist, dari sosial media, menjadi salah satu tujuan dan gaya hidup baru saya. Mendorong diri saya untuk hidup minimalis dari semua aspek, menjadikan lebih tenang (mindfulness).
For those who can feel that by using social media, your life will going easy, then keep using them as wise as you can. If you feel desperate after using them, but you can't really take off, please reconsider yourself to get some fresh air and grab a book with a cup of coffee. Let's your day calm for a while from them. You will see how amazing without social media.
Komentar
Posting Komentar